Partisipasi
dapat dibagai atas berbagai macam bentuk. Partisipasi menurut Effendi (2002)
terbagi atas partisipasi vertikal dan horizontal. Disebut partisipasi vertikal
karena bisa terjadi dalam bentuk kondisi tertentu masyarakat terlibat atau
mengambil bagian dalam suatu program pihak lain, dalam hubungan mana masyarakat
berada sebagai posisi bawahan, pengikut atau klien. Sedangkan partisipasi
horizontal, karena pada suatu saat tidak mustahil masyarakat mempunyai prakarsa
dimana setiap anggota/kelompok masyarakat berpartisipasi horizontal satu dengan
yang lainnya, baik dalam melakukan usaha bersama, maupun dalam rangka melakukan
kegiatan dengan pihak lain. Menurut Effendi (2002), tentu saja partisipasi
seperti ini merupakan tanda permulaan tumbuhnya masyarakat yang mampu
berkembang secara mandiri.
Menurut
Keith Davis (dalam Sastropoetro, 1988:16) dikemukakan bahwa Bentuk-bentuk dari partisipasi masyarakat adalah berupa; a)
pikiran, b) tenaga, d) keahlian, e) barang dan
f) uang. Bentuk partisipasi masyarakat ini dilakukan dalam berbagai
cara, yaitu; a) konsultasi, biasanya dalam bentuk jasa, b) sumbangan spontanitas
berupa uang dan barang, c) mendirikan proyek yang sifatnya berdikari dan
dibiayai oleh masyarakat sendiri, e) sumbangan dalam bentuk kerja, f) aksi
massa, g) mengadakan pembangunan di dalam keluarga dan h) membangun proyek
masyarakat yang bersifat otonom.
Bentuk partisipasi yang diberikan masyarakat
dalam tahap pembangunan ada beberapa bentuk. Menurut Ericson (dalam Slamet,
2009) bentuk partisipasi masyarakat dalam pembangunan terbagi atas 3 tahap,
yaitu:
a. Partisipasi
di dalam tahap perencanaan (idea planing stage).
b. Partisipasi
di dalam tahap pelaksanaan (implementation stage).
c. Partisipasi
di dalam pemanfaatan (utilitazion stage).
Dussedorp (dalam Slamet, 1994:10) mengemukakan
bahwa bentuk partisipasi didasarkan pada sembilan hal yaitu; derajat
kesukarelaan, cara keterlibatan, keterlibatan dalam proses pembangunan
terencana, tingkatan organisasi, intensitas frekuensi kegiatan, lingkup liputan
kegiatan, efektifitas, pihak yang terlibat dan gaya partisipasi.
Untuk
mengukur skala partisipasi masyarakat dapat diketahui dari kriteria penilaian
tingkat partisipasi untuk setiap individu (anggota kelompok) yang diberikan
oleh Chapin (dalam Slamet, 2003) sebagai berikut: Keanggotaan dalam organisasi atau lembaga tersebut;
Frekuensi kehadiran (attendence) dalam pertemuan-pertemuan yang diadakan;
Sumbangan/iuran yang diberikan; Keanggotaan dalam kepengurusan; Kegiatan yang
diikuti dalam tahap program yang direncanakan;
Keaktifan dalam diskusi pada setiap pertemuan yang diadakan.
Menurut Nabeel Hamdi dan Reinhard Goethert
(1997:66), tingkatan partisipasi digambarkan dengan alat yang disebut Matriks,
mulai dari tingkat tidak berperan serta sampai dengan tingkat pengendalian
penuh oleh masyarakat digambarkan oleh sumbu tegak, sedangkan tahapan kegiatan
mulai dari tahap inisiatif warga hingga tahap pemeliharaan digambarkan dengan
sumbu datar. Tingkatan partisipasi dalam diagram di bawah ini yaitu:
1. Tingkatan
Tidak Ada (none) yaitu outsider adalah semata-mata bertanggung jawab pada semua
pihak, dengan tanpa keterlibatan masyarakat.
2. Tingkatan
Tidak langsung (indirect) adalah sama dengan tidak ada partisipasi tetapi
informasi merupakan sesuatu yang spesifik.
3. Tingkatan
Konsultatif (consultative) adalah para outsider mendasarkan atas informasi
dengan tidak langsung diperoleh dari masyarakat.
4. Tingkatan
Terbagi (shared) yaitu masyarakat dan outsider berinteraksi sejauh mungkin
secara bersamaan.
5. Tingkatan
Pengendalian penuh (full control) adalah masyarakat mendominasi dan outsider
sebagai praktisi adalah sumber daya (resource).
Pelibatan
atau partisipasi masyarakat menurut Suparjan dan Hempri Suyatno (2003:59),
hendaknya dilakukan dalam setiap proses/tahapan pembangunan, yaitu; dalam
tahap identifikasi permasalahan, proses
perencanaan, pelaksanaan proyek pembangunan, evaluasi, mitigasi dan dalam tahap
monitoring.
No comments:
Post a Comment