Pada dasarnya, ada tiga kategori
gaya kepemimpinan seperti yang dikembangkan oleh Lewin, Lippitt dan White yaitu
otokratik, demokratik, dan laissez-faire (dalam Salusu 2003) :
1.
Gaya kepemimpinan otokratik
Gaya kepemimpinan otokratik biasanya
dipandang sebagai gaya yang didasarkan atas kekuatan posisi dan penggunaan
otoritas dalam melaksanakan tugas-tugasnya sebagai pemimpin. Sedangkan gaya
kepemimpinan demokratis dikaitkan dengan kekuatan personal dan keikutsertan
para pengikut dalam proses pemecahan masalah dan pengambilan keputusan.
Dalam banyak literatur para ilmuan
yang membahas tentang tipologi kepemimpinan mengatakan bahwa yang tergolong
sebagai pemimpin yang otokratik memiliki serangkaian karakteristik yang
dipandang sebagai kerakteristik yang negatif. Seorang pemimpin yang otokratik
adalah seorang yang sangat egois . Egoismenya yang sangat besar akan mendorong
memutarbalikkan kenyatan yang sebenarnya sehingga sesuai dengan dengan apa yag
secara subjektif diinterpretasikan sebagai kenyataan.
Berdasarkan nilai-nilai demikian,
sebagai pemimpn yang otoriter akan menunjukkan berbagai sikap yang menojolkan
“ke-akunnya” antara lain dalam bentuk:
a.
Kecenderungn memperlakukan para
bawahan sama dengan alat-alat lain dalam organisai, seperti mesin dan dengn
demikian kurang menghargai harkat dn martabat mereka.
b.
Pengutamaan orintasi terhadap
pelaksanaan dan penyelesaian tugas tanpa mengaitkan pelksanaan tugas itu dengan
kepentingan dan kebutuhan para bawahan.
c.
Pengabaian para bawahan dalam
proses pengambilan keputusan dengan cara pememberitahukan kepada para bawahan
tersebut bahwa ia telah mengambil keputusan tertentu dan para bawhan tu
diharpkan dan bahkan dituntut untuk untuk melaksanakannya saja.
Dengan persepsi, nilai-nilai, sikap
dan perilaku demikian seorang pemimpin yang otokratik akan menggunakan gaya
kepemimpinannya dalam bentuk:
a.
Menuntut ketaatan penuh dari
para bawahannya.
b.
Dalam menegakkan disiplin
menunjukkan kekakuan.
c.
Bernada keras dalam pemberian
perintah atau instruksi.
d.
Menggunakan pendekatan punitif
(pemberian hukuman) dalam hal terjadinya penyimpangan oleh bawahan.
Dalam kehidupan yang organisasional
yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia dengan berbagai bentuk
kebutuhan, keinginan dan harapannya tipe kepemimpinan yang otokratik bukanlah
tipe kepemimpan yang ideal. Bahkan bukan juga tipe yang diinginkan.
Gaya kepemimpinan otokratik mungkin
saja mampu menjalankan organisasinya dengan “baik”. Baik dalam artian hanya
tercapinya tujuan dan berbagai sasaran yang telah ditentukan pemimpin yang
bersangkutan sebelumnya. Artinya efektifitas kepemimpinan yang otokratik sangat
dikaitkan dengan kekuasaan untuk mengambil tindakan punitif. Ketika kekuasaan
untuk mengambil tindakan memberi hukuman tidak lagi dimilikinya, maka ketaatan
para bawahan segera mengendor dan disiplin kerjapun semakin merosot.
2.
Gaya kepemimpinan demokratik
Kepemimpinan demokratik adalah gaya
yang dikenal pula sebagai gaya partisipatif. Gaya kepemiminan ini memempatkan
manusia sebagai faktor terpenting dalam kepemimpinan yang dilakukan berdasarkan
dan mengutamakan orientasi pada hubungan dengan anggota organisasi. Filsafat
demokratis yang mendasari pandangan tipe dan gaya kepemimpinan ini adalah
pengakuan dan penerimaan bahwa manusia merupakan makhluk yang memiliki harkat
dan martabat yang mulia dengan hak asasi yang sama.
Ada beberapa karakteristik utama
gaya dasar seorang pemimpin yang demokratik diantaranya adalah:
a.
Kemampuan memperlakukan
organisasi sebagai suatu totalitas dengan menempatkan semua satuan organisasi
pada peranan dan proporsi yang tepat tanpa melupakan peranan satuan kerja
strategik tertentu tergantung pada sasaran yang ingin dicapai oleh organisasi
yang bersangkutan pada kurun waktu tertentu.
b.
Mempunyai persepsi yang holistik
mengenai organisasi yang dipimpinnya.
c.
Menggunakan pendekatan yang
integralistik dalam menjalankan fungsi-fungsi kepemimpinannya.
d.
Menempatkan kepentingan
organisasi sebagai keseluruhab diatas kepentingan diri sendiri atau kepentingan
kelompok dalam tertentu organisasi.
e.
Menganut filsafat manajemen
yang mengakui dan menjunjung tinggi harkat dab martabat para bawahannya sebagai
makhluk politik, makhluk ekonomi, makhluk sosial dan sebagai individuyang
mempunyai jati diri yang khas.
f.
Sejauh mungkin memberikan
kesempatan kepada para bawahannya berperan serta dalam proses pengambilan
keputusan.
g.
Terbuka terhadap ide, pabdangan
dan saran orang lain termasuk para bawahannya.
h.
Memberikan perilaku keteladanan
yang menjadikannya panutan bagi para bawahannya.
i.
Bersifat rasional dan obyektif
dalam menghadapi permasalahan terutama dalam menghadapi bawahannya.
j.
Selalu berusaha dan menumbuhkan
iklim kerja yag kondusif bagi inovasi dan kreativitas bawahan.
Selain itu, karakteristik penting
seorang pemimpin yang demokratik yang sangat positif adalah dengan cepat ia
menunjukan penghargaan kepada para bawahan yang berprestasi tinggi. Penghargaan
itu dapat mengambil berbagai bentuk separti kata-kata pujian, tepukan pada bahu
bawahan itu, mengeluarkan penghargaan, kenaikan pangkat, atau mungkin promosi
jika keadaan memungkinkan. Seorang pemimpin yang demokratik akan sengat bangga
bila para bawahannya menunjukkan kemampuan kerja yang bahkan lebih tinggi dari
kemempuannya sendiri.
Pengimplementasian nilai-nilai
demokratis dalam kepemimpinan dialakukan dengan memberikan kesempatan yang luas
pada anggota organisasi untuk berpartisipasi dalam setiap kegiatan sesuai
dengan posisi dan wewenang masing-masing.
Seorang pemimpin yang demokratik
dihormati dan disegani dan bukan ditakuti karena perilakunya dalam kehidupan
orgaisasi sosial. Perilakunya mendorong para bawahanya menumbuhan dan
mengembangkan daya inovasi dan kreativitasnya. Dengan sungguh-sengguh ia
mendengarkan pendapat, dan bahkan kritik orang lain, terutama para bawahannya.
Singkatnya, seorang pemimpin yang demokratik melihat bahwa dalam
perbedaan-perbedaan yang merupakan kenyataan hidup, harus terjamin kebersamaan.
3.
Gaya kepemimpinan laissez-faire
Gaya kepemimpinan ini pada dasarnya
berpandangan bahwa anggota organisasinya mampu mandiri dalam membuat keputusan
atau mampu mengurus dirinya masing-masing, dengan sesedikit mungkin pengarahan
atau pemberian petunjuk dalam merealisasikan tugas pokok masing-masing sebagai
bagian dari tugas pokok orgasisasi.
Seorang pemimpin yang laissez faire
baranggapan bahwa para anggota organisasi sudah mengetahui dan cukup dewasa
untuk taat pada peraturan permainan yang berlaku, sehingga pemimpin cenderung
memilih peranan yang pasif dan membiarkan organisasi serjalan menurut temponya
sendiri tanpa banyak mencampuri bagaimana organisasi harus dijalankan dan
ditegakkan.
Nilai-nilai yang dianut oleh seorang
pemimpin laissez faire dalam menjalankan fungsi-fungsi kepemimpinannya biasanya
bertolak dari filsafat hidup bahwa manusia pada dasarnya memiliki rasa
solidaritas dalam kehidupan bersama, mempunyai kesetiaan kepada sesama dan
kepada organisasi, taat kepada norma-norna yang telah disepakati bersama,
mempunyai rasa tanggung jawab yang besar terhadap tugas yang harus diembannya.
Ada beberapa karakteristik dari
kepemimpinan Laissez Faire diantaranya adalah:
a.
Pendelegasian wawenang terjadi
secara ekstensif (luas)
b.
Pengambilan keputusan
diserahkan kepada para pejabat pimpinan yang lebih rendah dan kepada para
petugas operasional, kecuali dalam hal-hal tertentu yang nyata-nyata menuntut
keterlibatan secara langsung.
c.
Status quo organisasional tidak
terganggu.
d.
Penumbuhan dan pengembangan
kemampuan berpikir dan bertindak yang inovatif dan kreatif diserahkan kepada
para anggota organisasi yang bersangkutan sendiri.
e.
Sepanjang dan selama anggota
organisasi menunjukkan perilaku dan prestasi kerja yang memadai, intervensi
pemimpin dalam perjalanan organisasi berada pada tingkat yang minimum.
Gaya kepemimpinan ini merupakan
kebalikan dari kepemimpinan otoriter, meskipum tidak sama atau bukan
kepemimpinan demokratis pada titik ekstrimya yang paling rendah. Kepemimpinn
dijalankan tanpa memimpin atau tanpa berbuat sesuatu dalam mempengaruhi
pikiran, perasaan, sikap dan perilaku anggota organisasinya.
Sedangkan Gatto dalam Salusu (2003),
mengemukakan empat gaya kepemimpinan yaitu gaya direktif, gaya konsultatif,
gaya partisipatif, dan gaya delegasi. Karakteristik dari setiap gaya tersebut
dapat diuraikan sebagai berikut:
1.
Gaya direktif.
Pemimpin yang direktif pada umumnya
membuat keputusan-keputusan penting dan banyak terlibat dalam pelaksanaannya.
Pemimpin banyak memberikan pengarahan. Semua kegiatan terpusat pada pemimpin,
dan sedikit saja kebebasan orang lain untuk berkreasi dan bertindak yang
diizinkan. Pimpinan memberikan instruksi yang spesifik tentang peranan dan
tujuan para pengikutnya, dan secara ketat mengawasi pelaksanaan tugas mereka.
Komunikasi berlangsung satu arah. Inisiatif pemecahan masalah dan pembuatan
keputusan semata-mata dilakukan oleh pemimpin. Pemimpin memberikan batasan
peranan pengikut dan memberitahukan mereka tentang apa, bagaimana, bilamana,
dan di mana melaksanakan tugas. Pada dasarnya gaya ini adalah gaya yang
otoriter.
2.
Gaya konsultatif.
Gaya ini dibangun diatas gaya
direktif, kurang otoriter dan lebih banyak melakukan interaksi dengan para staf
dan anggota organisasi. Pemimpin menunjukkan perilaku yang banyak mengarahkan
dan banyak memberikan dukungan. Fungsi pemimpin lebih banyak berkonsultasi,
memberikan bimbingan, motivasi, member nasihat dalam rangka mencapai tujuan.
Pemimpin dengan gaya ini mau menjelaskan keputusan dan kebijaksanaan yang
diambil dan menerima pendapat dari pengikutnya, tetapi pemimpin masih harus
tetap memberikan pengawasan dalam penyelesaian tugas-tugas bawahannya serta pengambilan
keputusan tetap pada pemimpin. Terjadi komunikasi dua arah antara pimpinan dan
bawahan.
3.
Gaya partisipatif.
Gaya partisipatif bertolak belakang
dari gaya konsultatif yang bisa berkembang ke arah saling percaya antara
pemimpin dan bawahan. Pemimpin menekankan pada banyaknya memberikan dukungan
dan sediki dalam pengarahan. Pemimpin cenderung memberi kepercayaan pada
kemampuan staf untuk menyelesaikan pekerjaan sebagai tanggung jawab mereka.
Pemimpin menyusun keputusan bersama-sama dengan para bawahan dan saling menukar
ide/gagasan, serta mendukung usaha-usaha mereka dalam menyelesaikan tugas.
Posisi kontrol atas pemecahan masalah dan pembuatan keputusan dipegang secara
bergantian. Komunikasi lebih ditingkatkan dan peranan pemimpin secara aktif
mendengar. Hal ini wajar karena bawahan telah memiliki kemampuan untuk
melaksanakan tugas. Sementara itu, kontak konsultatif tetap berjalan terus.
Dalam gaya ini, pemimpin lebih banyak mendengar, menerima, bekerja sama, dan
memberi dorongan dalam proses pengambilan keputusan. Perhatian diberikan kepada
kelompok.
4.
Gaya Free-rein,
Gaya Free-rein atau disebut juga
gaya delegasi, yaitu gaya yang mendorong kemampuan staf untuk mengambil
inisiatif. Dalam gaya ini, pemimpin memberikan sedikit dukungan dan sedikit
pengarahan. Pemimpin dengan gaya ini mendelegasikan secara keseluruhan
keputusan-keputusan dan tanggung jawab pelaksanaan tugas kepada bawahannya
sehingga bawahanlah yang memiliki kontrol untuk memutuskan tentang bagaimana
cara pelaksanaan tugas. Pemimpin memberikan kesempatan yang luas bagi
bawahannya untuk melaksanakan tugas mereka sendiri karena mereka memiliki
kemampuan dan keyakinan untuk memikul tanggung jawab. Kurangnya interaksi dan
kontrol yang dilakukan oleh pemimpin sehingga gaya ini hanya bisa berjalan apabila
staf memperlihatkan tingkat kompetensi dan keyakinan akan mengejar tujuan dan
sasaran organisasi
No comments:
Post a Comment